BAB I
PENDAHULUAN
Akhlak adalah kelakuan, yang mana akhlak di sini adalah berupa kelakuan
manusia yang sangat beragam, keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari
berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan
buruknya suatu perbuatan manusia itu sendiri.
Akhlak merupakan suatu perbuatan yang bertujuan jelas yaitu : untuk
memperbaiki pribadi muslim sehingga bisa melaksanakan Islam dengan
sebaik-baiknya, adapun perbaikan yang dimaksud di sini adalah : segala sesuatu
yang sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Al Qur’an dari Hadits Nabi SAW.[1]
Merujuk pada sebuah
ayat Al Qur’an surah Al Ahzab yang artinya : Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu
Yang mana salah satu sumber suri teladan adalah perilaku Rasul SAW yang
mana Rasulullah SAW dengan kehadirannya di muka bumi ini sebagai sesorang yang
diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Dalam Al Quran banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang akhlak, baik
itu akhlak yang terpuji maupun yang tercela. Juga hubungan antara akhlak dengan
manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya dan lingkungannya.
Maka penulis mencoba
mengupas tafsir surat
Al Qolam ayat 4 dalam kaitannya dengan masalah akhlak dalam berbagai sudut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai kebiasaan, bahkan agama)[2], namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung (QS Al- Qalam [68]: 4).
Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi Saw., dan salah satunya yang paling populer adalah, “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keaneka-ragaman tersebut[3].
¨bÎ) ö/ä3u÷èy 4Ó®Lt±s9 ÇÍÈ
Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam (QS Al-Lail [92]: 4).
Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.
B. Macam-Macam Akhlak
Manusia secara lahiriyah mempunyai potensi baik dan buruk. Terdapat sekian banyak ayat Al-Quran yang dipahami menguraikan hal hakikat ini, antara lain:
çm»oY÷yydur ÈûøïyôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ
Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS Al-Balad [90]: 10).
Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Walaupun kemudian Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya.[4]
C. Tanggung Jawab
Atas dasar uraian di atas, Al-Quran membebaskan manusia untuk memilih kedua jalan yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Manusia tidak boleh membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan ke atas pundaknya.[5]
Tetapi dalam Al-Quran surat Al-An'am ayat 164 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syaratsyarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran.
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒt $pkön=tæ 4 wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15).
Dari ayat ini, kita dapat memetik paling tidak dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya.[6]
Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya.
D. Penilaian Akhlak Yang Baik
Ukuran kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya,
tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Di sisi lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat Thaha (20): 8 menegaskan:
ª!$# Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# ÇÑÈ
(Dialah) Allah tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma' Al-Husna) (QSThaha [20]: 8).
Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang atau masyarakat jika menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolok ukur, dan tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda
antara seseorang dengan yang 1ain, bahkan seseorang yang berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda, dengan kondisi lainnya. Boleh jadi suatu masyarakat yangterjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.
E. Sasaran Akhlak
Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Berikut upaya pemaparan sekilas beberapa sasaran akhlak Islamiyah.
a. Akhlak terhadap Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memilikisifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.
Teramati bahwa semua makhluk --kecuali nabi-nabi tertentu--selalu menyertakan pujian mereka kepada Allah dengan menyucikan-Nya dari segala kekurangan.
b. Akhlak terhadap sesama manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
* ×Aöqs% Ô$rã÷è¨B îotÏÿøótBur ×öyz `ÏiB 7ps%y|¹ !$ygãèt7÷Kt ]r& 3 ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOÎ=ym ÇËÏÌÈ
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah [2]: 263).
Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. --misalnya-- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia 1ain.[7]
c. Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
PENUTUP
Akhlak adalah perilaku dan kelakuan manusia manusia. Akhlak ada bermacartapi secara garis besar akhlak ada dua yaitu yang baik dan buruk. Secara mendasar manusia mempunyai kecenderungan untuk berakhlak baik, namun kadang-kadang godaan dari luarlah yang menyebabkan manusia terjerumus kepada akhlak yang buruk.
Karena manusia diberi kebebasan untuk memilih yang baik dan yang buruk maka Allah memberikan pertanggung jawaban atas apa yang dipilih dengan segala konsekuensinya.
Ada dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya.
Sasaran akhlak ada tiga yaitu :
a. Akhlak terhadap Allah
b. Akhlak terhadap sesama manusia
c. Akhlak terhadap lingkungan.
Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1998)
Jalaluddin As-Suyuthi.Al
Itqan fi ulum Al Quran, Al-Azhar,Mesir tt
Tim Penyusun Kamus
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta
1991.
Ar-Raghib Al Asfihani,
Mu’jam Al Mufradat Alfazh Al Quran ,Dar
Al fikr tt
Musa Subaiti, Akhlak
keluarga Muhammad Saw, (Jakarta : Lentera. 1996)
Syaikh Muhammad bin
Jamil Zainu, Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (Jakarta :
Akafa Press 1998).
Murtadha Muthahhari, Akhlak
Suci Nabi yang Ummi, ( Bandung : Mizan, 1995).
Ibn Katsir, Tafsir
AlQuran Al Azhim, Sulaiman Mar’i, Singapura t.t
[1] Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci
Nabi yang Ummi, ( Bandung : Mizan, 1995).
[2] Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1991.
[3] Ar-Raghib Al Asfihani, Mu’jam Al Mufradat Alfazh
Al Quran ,Dar Al fikr tt
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung :
Mizan, 1998)
[5] Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi,
( Bandung : Mizan, 1995).
[6] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Bimbingan Islam
untuk Pribadi dan Masyarakat (Jakarta : Akafa Press 1998).
[7] Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci
Nabi yang Ummi, ( Bandung : Mizan, 1995).
No comments:
Post a Comment