Pages

Friday 8 June 2012

AKHLAK DALAM SUDUT PANDANG AL QUR'AN


BAB I
PENDAHULUAN
Akhlak adalah kelakuan, yang mana akhlak di sini adalah berupa kelakuan manusia yang sangat beragam, keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruknya suatu perbuatan manusia itu sendiri.
Akhlak merupakan suatu perbuatan yang bertujuan jelas yaitu : untuk memperbaiki pribadi muslim sehingga bisa melaksanakan Islam dengan sebaik-baiknya, adapun perbaikan yang dimaksud di sini adalah : segala sesuatu yang sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Al Qur’an dari Hadits Nabi SAW.[1]
Merujuk pada sebuah ayat Al Qur’an surah Al Ahzab yang artinya : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu
Yang mana salah satu sumber suri teladan adalah perilaku Rasul SAW yang mana Rasulullah SAW dengan kehadirannya di muka bumi ini sebagai sesorang yang diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Dalam Al Quran banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang akhlak, baik itu akhlak yang terpuji maupun yang tercela. Juga hubungan antara akhlak dengan manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya dan lingkungannya.
Maka penulis mencoba mengupas tafsir surat Al Qolam ayat 4 dalam kaitannya dengan masalah akhlak dalam berbagai sudut.
 
 
BAB II
 
PEMBAHASAN
 
A.    Pengertian Akhlak
 
               Dalam Kamus Besar  Bahasa  Indonesia,  kata  akhlak  diartikan sebagai  budi  pekerti  atau  kelakuan.  Kata  akhlak walaupun terambil dari  bahasa  Arab  (yang  biasa  berartikan  tabiat, perangai  kebiasaan,  bahkan  agama)[2],  namun  kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal  kata  tersebut  yaitu  khuluq  yang  tercantum  dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai  sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,
 y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ 
Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi  pekerti yang agung (QS Al- Qalam [68]: 4).
               Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis  Nabi  Saw., dan salah satunya yang paling populer adalah, “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
               Bertitik tolak dari pengertian bahasa di  atas,  yakni  akhlak sebagai  kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa  firman Allah berikut  ini  dapat menjadi salah satu argumen keaneka-ragaman tersebut[3].
 ¨bÎ) ö/ä3u÷èy 4Ó®Lt±s9 ÇÍÈ 
     Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam (QS Al-Lail [92]: 4).
Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau  dari  berbagai  sudut, antara  lain  nilai kelakuan  yang  berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa  kelakuan  itu ditujukan.
 
B.     Macam-Macam Akhlak
                       Manusia secara lahiriyah mempunyai potensi baik dan buruk. Terdapat sekian banyak ayat Al-Quran yang dipahami menguraikan hal hakikat ini, antara lain:
 çm»oY÷ƒyydur ÈûøïyôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ 
Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS Al-Balad [90]: 10).
               Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia,  namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada  kejahatan,  dan  bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis,  Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu,  ia  menjadi  tersesat.  Walaupun kemudian  Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya.[4]
 
C.     Tanggung Jawab
               Atas dasar uraian di atas, Al-Quran membebaskan manusia  untuk memilih  kedua  jalan  yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya.  Manusia  tidak boleh  membebani  orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan ke  atas  pundaknya.[5]  
               Tetapi  dalam Al-Quran  surat  Al-An'am  ayat  164 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru  dituntut  apabila  memenuhi  syaratsyarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran.
 Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ 
Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa  orang lain, dan Kami tidak     akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15).
Dari ayat ini, kita dapat memetik paling  tidak dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
 
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui  atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang tidak dilakukannya,  sekalipun hal tersebut diketahuinya.[6]
               Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi  kemampuan untuk  memilih,  maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat  dan  kehendak seseorang  mempunyai  peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya.
  
D.    Penilaian Akhlak Yang Baik
               Ukuran kelakuan baik dan  buruk  mestilah  merujuk  kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa  yang  dinilai  baik  oleh Allah,  pasti  baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya,
tidak mungkin Dia menilai kebohongan  sebagai  kelakuan  baik, karena kebohongan esensinya buruk.
               Di  sisi  lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat  Thaha (20): 8 menegaskan:
 ª!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# ÇÑÈ 
(Dialah) Allah tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma' Al-Husna) (QSThaha [20]: 8).
               Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang  atau  masyarakat jika  menjadikan  sifat-sifat  Allah  sebagai  tolok ukur, dan tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat  sebagai  tolok ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda
antara seseorang  dengan  yang  1ain,  bahkan  seseorang  yang berada  dalam  kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda, dengan kondisi  lainnya.  Boleh  jadi  suatu  masyarakat  yangterjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.
 
E.     Sasaran Akhlak
               Akhlak  dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,jika etika dibatasi pada sopan santun  antar  sesama  manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Berikut   upaya  pemaparan  sekilas  beberapa  sasaran  akhlak Islamiyah. 
 
a. Akhlak terhadap Allah
               Titik  tolak  akhlak  terhadap  Allah  adalah  pengakuan   dan kesadaran  bahwa  tiada  Tuhan  melainkan  Allah. Dia memilikisifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang  jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.
                Teramati bahwa semua makhluk  --kecuali  nabi-nabi  tertentu--selalu   menyertakan   pujian   mereka   kepada  Allah  dengan menyucikan-Nya dari segala kekurangan.
 
b. Akhlak terhadap sesama manusia
               Banyak  sekali  rincian  yang  dikemukakan  Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama  manusia.  Petunjuk  mengenai hal  ini  bukan  hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti  membunuh,  menyakiti  badan,  atau  mengambil harta  tanpa  alasan  yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan  jalan  menceritakan  aib  seseorang  di belakangnya,  tidak  peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
 * ×Aöqs% Ô$rã÷è¨B îotÏÿøótBur ׎öyz `ÏiB 7ps%y|¹ !$ygãèt7÷Ktƒ ]Œr& 3 ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOŠÎ=ym ÇËÏÌÈ 
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah  [2]: 263).
               Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang  hendaknya didudukkan  secara  wajar.  Nabi  Muhammad  Saw.  --misalnya-- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia  yang  lain,  namun dinyatakan  pula  bahwa  beliau  adalah  Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau  berhak  memperoleh penghormatan  melebihi  manusia  1ain.[7] 
 
c. Akhlak terhadap lingkungan
               Yang dimaksud lingkungan di sini adalah  segala  sesuatu  yang berada  di  sekitar  manusia,  baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada  dasarnya,  akhlak  yang  diajarkan   Al-Quran   terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan  menuntut  adanya interaksi antara manusia dengan  sesamanya dan manusia terhadap alam.  Kekhalifahan  mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
               Dalam  pandangan  akhlak  Islam,  seseorang  tidak  dibenarkan mengambil  buah  sebelum  matang,  atau  memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan  kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. 
               
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PENUTUP
 
               Akhlak adalah perilaku dan kelakuan manusia manusia. Akhlak ada bermacartapi secara garis besar akhlak ada dua yaitu yang baik dan buruk. Secara mendasar manusia mempunyai kecenderungan untuk berakhlak baik, namun kadang-kadang godaan dari luarlah yang menyebabkan manusia terjerumus kepada akhlak yang buruk.
               Karena manusia diberi kebebasan untuk memilih yang baik dan yang buruk maka Allah memberikan pertanggung jawaban atas apa yang dipilih dengan segala konsekuensinya.
Ada dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui  atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang tidak dilakukannya,  sekalipun hal tersebut diketahuinya.
Sasaran akhlak ada tiga yaitu :
a.       Akhlak terhadap Allah
b.      Akhlak terhadap sesama manusia
c.       Akhlak terhadap lingkungan.
 
Tolok ukur kelakuan baik dan  buruk  mestilah  merujuk  kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama.
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1998)
Jalaluddin As-Suyuthi.Al Itqan fi ulum Al Quran, Al-Azhar,Mesir tt
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1991.
Ar-Raghib Al Asfihani, Mu’jam Al Mufradat Alfazh Al Quran  ,Dar Al fikr tt
Musa Subaiti, Akhlak keluarga Muhammad Saw, (Jakarta : Lentera. 1996)
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (Jakarta : Akafa Press 1998).
Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, ( Bandung : Mizan, 1995).
Ibn Katsir, Tafsir AlQuran Al Azhim, Sulaiman Mar’i, Singapura t.t



[1] Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, ( Bandung : Mizan, 1995).

[2] Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1991.

[3] Ar-Raghib Al Asfihani, Mu’jam Al Mufradat Alfazh Al Quran  ,Dar Al fikr tt

[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1998)

[5] Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, ( Bandung : Mizan, 1995).

[6] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (Jakarta : Akafa Press 1998).

[7] Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, ( Bandung : Mizan, 1995).

No comments:

Post a Comment